Tadi malam, menjelang tidur, ia menelepon saya. Memberitahu. Absen sebagai “sparing partner” di trek blang padang besok
Saya oke. “Hana” masalah.
Si penelopon itu sendiri baru sepekan terakhir jadi gebetan olahraga saya. Di pagi hari. Di blang padang. Gebetan yang bikin ringan langkah saya melahap trek berbentuk lingkaran peang itu.
Peang yang artinya gak bulat. Lonjong melikuk.
Trek blang padang itu panjangnya sembilam ratus tiga puluh lima meter. Di khususkan untuk olahraga
Setiap pagi selama belasan tahun, kalau “mood” bagus, saya rutin mengunyahnya sebagai sarapan. Sarapan dengan dua pola untuk meraih hidup kesehatan.
Durasi dan jarak. Sebagai alat ukur waktu plus kualitas dan kuantitas gerakan.
Trek blang padang itu, dulunya, di bangun era “bek riuh-riuh.” Ha ha ha….Era Brr. Badan rehabilitasi dan rekonstruksi. Sebuah badan yang mengelola dana bantuan dan hibah dari berbagai negara
Usai tsunami. Delapan belas tahun silam.
Bantuan dan hibah untuk sebuah bencana gempa megatrust dan humbalang laut terbesar yang pernah terjadi sepanjang sejarah modern.
Gempa dan humbalang yang mampu menjinakkan pergerakan aceh merdeka yang kemudian menggiringnya ke sebuah kesepakatan damai lewat memorandum of understanding Helsinki.
Badan itu sangat popular. Sepopuler nama ketuanya. Kuntoro Mangkusubroto. Seorang insinyur jebolan institute tekhnologi bandung. Itb. Telah berpulang. Tokoh fenomenal.
Kalau untuk saya. Entah Anda.
Trek blang padang itu hingga kini masih awet. Dikelola oleh tentara. Kodam Iskandarmuda,
Sepanjang trek, di sisian kanan, dibanjari banyak “nisan.” Masing-masing berjarak sepuluh meter.
Maaf, saya menamakannya nisan karena banyak dari lembaga yang memberi donor di plakat itu sudah hang. Sudah bubar.
Terhadap bentuk “nisan” itu sendiri saya gak ngah.Karena desain wayang yang samgat n-jowo.
Kembali ke gebetan yang nelepon tadi.
Namanya Tarmizi. Badannya tinggi besar. Kekar. Usianya, bisik seorang teman: lima puluh tujuh tahun. Kelahiran simpang tiga. Pidie. Pidie yang gak ada jaya-nya,
Dari sisi usia terbilang masih kanak-kanak di banding saya. Maklum jarak usia si gebetan itu dengan saya delapan belas tahun. Berarti saya udah lulus sekolah menengah atas ia baru ngelihat donya.
Tentang gebetan jangan dipelesetkan secara maknawi dan sungsang. Secara kaidah kosakata ia orang yang disukai. Istilah ini sering jadi “joke” anak muda sebagai awal hubungan.
Dan hubungan saya dengan Tarmizi … ya.. berada di tahap itulah. Secara versi manula. Manusia lanjut usia
Walau berada di tahap gebetan itu ha..hi..ho … saya dengan dia sudah di jalur neng..ning.. nong…
Saya senang dengan stylie-nya yang “humble.” Terbuka. Gak ekslusif. Sekadar istilah kejiwaan untuk orang yang menutup diri.
Yang saya suka darinya lagi jiwa entreupreuner yang ia miliki. Jiwa wira usaha. Pengusaha. Jenis manusia yang bisa mengubah rongsokan jadi emas. Jiwa yang kini makin langka
Tarmizi berada di posisi itu. Seorang entrepreuner.
Posisi yang sering kita arahkan lewat telunjuk untuk syedara komunitas cina. Ya gak yang salah. Tarmizi termasuk kelompok itu. Tapi kecinaannya bukan kuning. Cina hitam.
Anda dan saya tentu belum “hang” tentang plesetan khas kutaradja terhadap cina hitam “blah seulawah.” Ya udah. Tahu sama tahu saja..
Tarmizi memang pengusaha, Sejak remaja. Jatuh bangun. Malah pernah terperosok. Blass…Ketika piutangnya bengkak sebesar kambing semok untuk ukuran sini. Bukan untuk konglomerat.
Piutang yang gak bisa ditagih secara langsung. Sebab adanya tanda bintangnya. Yang Tingkat bintannya harus lewat pengajuan anggaran. Butuh waktu. Didahului … macam-macamlah.
Tahu sama tahulah.. Saya gak ingin lanjut tentang ini. Bisa bikin ghibah, Toh itu masa lalu. Sudah lewat.
Yang membuat mini marketnya Tarmizi tutup. Pasang gembok.
Di masa terperosok dalam rongsokan piutang itulah Tarmizi menemukan jalan emas. Jalan pencerahan. Jalan khas entrepreuneur.
Jalan ketika ia membuka cerita kepada saya di putaran ke enam trek blang padang di sebuah pagi. Cerita tentang malam ketika ia kalut dan diajak teman ke warung kopi.
Sebuah warung kopi yang untuk mendapatkan kursi dan meja menyebabkan seorang Tarmizi harus berdiri beberapa menit. Lalu ada meja yang ditinggalkan pengunjung. Dan dia ke meja itu. Masih kotor. Ikut membersihkannya.
Usai duduk ia sendiri terpana berdiri: menghitung meja. Bukan kaleng-kaleng: sekian puluh meja. Masing-masing untuk empat orang.
Hebatnya lagi, kedai kopi itu buk dua puluh jam.
Dari warung kopi yang membuat kebekuan otaknya mencair. Saat itu kota propinsi ini masih dijuluki serambi mekkah. Masih gelar lama. Gelar yang sudah menguap. Kini pop dengan kota “seribu-k”
Nama yang tak perlu di riset atau survei jumlah pemakainya. Yang riset dan survei butuh penyandang dana. Seperti survei elektabilitas hari-hari ini. Yang juntrungannya gak jelas
Di kedai kopi itu juga Tarmizi mendapat pencerahan. Kedai kopi yang seperti dikatakannya kepada saya melimpah pengunjungnya. Penuh. Bising..
Sepanjang duduk di kedai kopi itu matanya jelalatan: melihat pengunjung keluar masuk tanpa ada meja yang kosong.
Yang membuatnya ingin mencoba bisnis ini dengan konsep lain. Yang kemudian ia katakanasebagai konsep kafe.
Sebab, sebelum di lilit piutang ia sudah punya asset. Dua pintu toko di kawasan simpang Surabaya sebelum di bangun flyover.
Di situ saya mengikrarkan ingin mencoba buka kedai kopi dengan konsep yang belum pernah ada dan namanya langsung muncrat: Dapu Kupi.
Usai dari warung kopi, yang ampun pengunjungnya seabrek itu, ia pun melakukan riset sederhana: berapa banyak warung kopi yang memakai konsep kafe.
Kafe yang bisa menggiring Wanita ngopi. Di era itu wanita masih di poisisi mubah duduk di kedai kopi. Kecuali dengan keluarga. Beda dengan sekarang.
Konsep kafe inilah yang terus dikembangkan Tarmizi untuk “dapu kupi.” Ada wifi dan sebagainya dan sebagainya…Sehingga ia banyal mendapat plakat. Berjejer di di sudut kaafe-nya.
Dan yang fenomenal dari perusahaan telekomunikasi. Berdasarkan data pemakai hamdphone terbanyak di sebuah lokasi.
Banyak lagi yang ingin saya tulis sebagai lanjutam Tarmizi dan Dapu Kupi. Masih ada episode.
Episode Dapu Kupi yang ikut mengubah kota ini ramai nyaris sepanjang malam. Aman. Sangat menyenangkan. Bersih. Rapi. Hijau. Teratur.
Teratur pula ketika serambi makkah telah menjadi serambi kopi.