Media Inggris terkenal “daily mail,” dalam rubrik kesehatan terbarunya hari ini, Selasa, 20 Desember 2016, mengingatkan dampak buruk kesehatan bagi mereka hidup sendirian, atau tanpa pasangan, terutama mereka yang terserng stroke.
“Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan, bahwa kesendirian atau hidup tanpa pasangan dapat membawa dampak buruk bagi kesehatan, terutama bagi pasien pasca stroke,” tulis “daily mail.”
Mereka yang tidak memiliki pasangan kurang dapat bertahan hidup, dibandingkan mereka yang menikah dan punya pasangan.
Penelitian ini, menurut “mail,” dilakukan dengan sempurna.
“Ada ribuan orang dengan pengalaman pernah terkena stroke rata-rata lima tahun yang diteliti,” tulis “mail” lebih lanjut.
Jumlah responden yang menikah atau punya pasangan ternyata 71 persen lebih rendah terkena risiko kematian, dibandingkan mereka yang tidak pernah menikah atau berpasangan.
Kejadian stroke semakin tinggi seiring waktu.
Di Inggris, sebanyak seratus lima puluh ribu orang terkena stroke setiap tahun. Di Amerika Serikat, angka jauh lebih besar.
Pada kasus stroke, sejauh mana kemampuan orang untuk sembuh dan kesempatan untuk hidup lebih lama, menurut para ahli bergantung pada perawatan yang baik, rehabilitasi, dan dukungan pasca stroke.
Para ahli di Duke University di North Caroline menduga faktor-faktor tersebut menjadi kunci utama orang menikah memiliki kemampuan penanganan pasca stroke lebih baik, yaitu ada seseorang atau pihak yang merawat mereka.
Para peneliti juga menemukan mereka yang pernah mengalami kehancuran rumah tangga di masa lalu, atau pernah bercerai, juga memiliki ketahanan hidup lebih rendah.
Untuk hal ini, para peneliti menduga hal traumatis dapat mempengaruhi daya tahan hidup seseorang pasca stroke.
Dalam penelitian tersebut, mereka yang bercerai 23 persen cenderung meninggal setelah terkena stroke. Dan mereka yang pernah bercerai lebih dari sekali, berpeluang 40 persen lebih tinggi meninggal pasca stroke.
“Menghadapi kasus stroke, kami menduga mereka dengan pernikahan yang stabil menerima manfaat dari kondisi tersebut untuk menangani penyakit ini lebih baik dan memperlama daya tahan setelah mengalami momen mengancam jiwa seperti stroke,” tulis para peneliti di Journal of the American Heart Association.
Para peneliti mengatakan, temuan ini menguatkan asumsi bahwa menikah lagi setelah gagal berumah tangga tidak memberikan manfaat kesehatan yang sama, dibandingkan mereka yang membina kehidupan berumah tangga secara stabil.
“Kami menduga stres akut dan kronis terkait kegagalan perkawinan punya peran penting dalam temuan ini, khususnya yang terkait dengan kondisi janda atau duda di masa tua,” tulis peneliti.
“Memang,” peneliti menambahkan, “studi terbaru telah mengidentifikasi kemungkinan mekanisme biologis terkait stres akibat kehilangan perkawinan. Ini menjanjikan penyelidikan lebih lanjut yang berkaitan dengan peningkatan risiko kematian pasca stroke.”
Studi terbaru lainnya seperti diungkapkan “live science,” serangan stroke tak lagi ‘didominasi’ kalangan lanjut usia.
“Serangan stroke pertama kali makin kerap menyasar kaum muda,” tulis media kesehatan itu
Chengwei Li, epidemiologist di University of Michigan School of Public Health mengingatkan memang terjadi kasus serangan stroke di usia lebih dini, namun belum terjadi tren
Sebaliknya, kasus orang yang terkena serangan stroke di bawah lima puluh lima tahun justru menunjukkan kenaikan yang signifikan.
Menurut hasil penelitian yang dibawa dalam pertemuan ilmiah tahunan American Heart Association, pada 14 November lalu, penurunan rata-rata usia serangan stroke pertama ini dapat berimplikasi besar terhadap kesehatan masyarakat.
Penelitian ini mencontohkan, orang muda yang terkena serangan stroke berpotensi mengalami kelumpuhan lebih lama dibandingkan orang tua yang terkena stroke.
Menurut Centers for Disease Control and Prevention, stroke menjadi penyebab utama kasus kelumpuhan jangka panjang.
Penelitian ini berfokus pada jenis stroke iskemia yang merupakan kategori stroke paling umum. Stroke iskemia terjadi ketika gumpalan darah menghalangi alirah darah ke otak serta tersumbatnya pasokan oksigen dan nutrisi ke otak.
Selama penelitian berlangsung, tercatat lebih dari tiga ribuan kasus kejadian stroke iskemia.
Menurut Li, kini rata-rata usia seseorang mengalami stroke turun dua tahun lebih muda. Berdasarkan keterangan Li tersebut, diketahui faktor risiko terjadinya stroke semakin ‘merajalela’ di masyarakat.
Beberapa faktor risiko tersebut adalah atrial fibrillasi atau kondisi denyut jantung tak teratur, diabetes tipe-2 dan tekanan darah tinggi.
Li mengatakan, orang harus lebih peduli terhadap faktor risiko stroke guna mencegah terjadi stroke di usia pertengahan dan produktif.
Meski hasil penelitian menunjukkan ada kecenderungan serangan stroke mengintai usia muda, namun Li mengatakan perlu penelitian lebih lanjut alasan kejadian stroke di kalangan usia lebih muda.