Apakah ada hubungan “harmoni” antara kebahagiaan dengan panjang umur?
Jawabannya ada di sebuah studi terbaru yang ditulis oleh media prestiseus, “The Independet,” jumat, 11 Desember 2015.
Berdasarkan studi terbaru, tulis surat kabar Inggris itu, kebahagiaan tidak membuat hidup seseorang menjadi lebih lama.
Studi ini mengakhiri keyakinan bahwa perasaan sedih atau stres dapat menyebabkan gangguan kesehatan.
Kebahagiaan memang membuat hidup seseorang seperti tak pernah berhenti berputar.
Studi selama sepuluh tahun terhadap satu juta perempuan ini menemukan bahwa keadaan emosional yang sejahtera tidak berhubungan langsung dengan angka kematian.
Mereka juga mengatakan, penelitian sebelumnya hanya membuat hubungan sebab akibat jadi membingungkan.
Kesehatan buruk yang mengancam jiwa jelas menyebabkan ketidakbahagiaan, itu alasannya mengapa ketidakbahagiaan dihubungkan dengan tingginya kematian, kata para peneliti.
Peneliti menemukan, merokok biasanya membuat orang tidak bahagia dibandingkan non-perokok.
Meski demikian, setelah memperhitungkan masalah kesehatan sebelumnya, merokok, dan faktor-faktor gaya hidup dan sosial ekonomi, mereka menemukan, ketidakbahagiaan itu sendiri tidak berhubungan dengan tingkat kematian.
Salah seorang penulis studi, Professor Sir Richard Peto di Universitas Oxford mengatakan,
“Banyak yang masih percaya bahwa stres atau ketidakbahagiaan dapat secara langsung menyebabkan penyakit, tapi mereka masih bingung akan hubungan sebab akibatnya.”
“Tentu saja orang-orang yang sakit cenderung tidak bahagia daripada mereka yang sehat. Namun, menurut Studi Million Women di Inggris, kebahagiaan dan ketidakbahagiaan tidak dengan sendirinya memiliki efek langsung pada tingkat kematian.”
Studi yang diterbitkan di jurnal The Lancet merupakan bagian dari Million Women Study, studi nasional kesehatan perempuan, yang melibatkan lebih dari satu juta perempuan Inggris berusia lima puluh dan lebih, serta proyek kolaborasi antara Cancer Research di Inggris dan NHS.
Tiga tahun setelah ikut serta dalam penelitian, para perempuan tersebut dikirimkan kuesioner untuk menilai tingkat kesehatan, kebahagiaan, stres, perasaan atas kontrol, dan apakah mereka merasa rileks.
Lima dari enam perempuan berkata mereka pada umumnya bahagia, tapi satu dari enam mengatakan mereka tidak bahagia.
Ketidakbahagiaan terkait dengan kehilangan, merokok, kurang olahraga, tidak hidup dengan pasangan. Asosiasi terkuatnya adalah, perempuan dengan kesehatan buruk cenderung mengatakan mereka tidak bahagia, stres, tidak dalam kontrol, dan tidak santai.
Analisis utama meneliti sekitar tujuh ratus ribu ribu perempuan berusia rata-rata enam puluh tahun.
Selama sepuluh tahun berikutnya, para perempuan ini diikuti terus dengan catatan elektronik kematian, selama waktu tersebut sekitar tiga puluh ribu ribu dari mereka meninggal dunia.
Penulis utama studi Bette Liu dari Universitas New South Wales, Australia, mengatakan, “Penyakit membuat Anda tidak bahagia, tapi ketidakbahagiaan sendiri tidak membuat Anda sakit.”
“ Kami tidak menemukan efek langsung dari ketidakbahagiaan atau stres terhadap kematian, bahkan dalam sepuluh tahun penelitian terhadap satu juta perempuan.”
Dengan kata lain, kebahagiaan tidak membuat seseorang hidup lebih lama.
Sebelum studi ini dilakukan para peneliti mengklaim kebahgiaan punya korelasi yang sangat kuat dengan panjang umur seorang.
Misalnya, sebuahpenelitian yang dilakukan pada lima tahun lalu menunjukkan bahwa mereka yang hidup dengan tingkat kepuasan tinggi cenderung terhindar dari kematian dini
Bahkan pnelitian terbaru yang diprakarsai oleh University College of London, telah menyempurnakan hasil studi terdahulu.
Menurut penelitian itu, ‘Positive well-being’ berfungsi sebagai obat untuk atasi stres dan beberapa penyakit.
Dalam penelitian tersebut, para peserta diminta untuk menilai perasaan mereka mengenai kebahagiaan dan juga kecemasan sebanyak empat kali dalam setahun. Para peneliti juga mengukur jumlah kematian yang terekam selama periode lima tahun.
Setelah memperhitungkan beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin, tingkat depresi dan penyakit yang diderita oleh peserta, para peneliti menemukan bahwa mereka yang selalu merasa bahagia memiliki risiko tiga puluh lima persen lebih rendah terhadap kematian dini dibandingkan dengan peserta yang jarang merasa bahagia.
“Penelitian ini memberikan alasan lebih lanjut mengenai pandangan positif serta kebahagiaan pada orang tua,” ujar Profesor Andrew Steptoe, peneliti utama dari University College of London, seperti yang dikutip dari Daily Mail.
Penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh kebahagiaan seseorang juga dilakukan oleh University of Illinois.
Mereka menemukan, suasana hati yang positif dapat mengurangi stres yang berhubungan dengan hormon dan dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh.
Selain itu, Prof Ed Diener dan timnya juga melakukan percobaannya terhadap 160 hewan serta manusia, dan menemukan kesimpulan bahwa kebahagiaan memberikan kontribusi pada umur panjang dan kesehatan yang baik.
Sedangkan kecemasan, depresi dan pesimisme erat kaitannya dengan penyakit dan kematian dini.