Anda percaya menguap itu bisa menular?
Percaya atau nggak percaya, berdasarkan penelitian memang terdapat kaitan antara ketularan menguap dengan kedekatan hubungan
Dan hampir setiap orang pernah menguap.
Namun tahukah Anda bahwa ternyata hanya manusia dan sebagian kecil hewan cerdas yang bisa ketularan menguap?
“Menguap barangkali merupakan perilaku manusia yang kurang banyak diketahui,” ujar Robert Provine, seorang profesor psikologi dan ilmu saraf, yang meneliti mengapa menguap bisa menular.
“Meskipun sudah menjadi bagian umum dari perilaku manusia dan hewan, kita masih belum yakin apa yang menyebabkan kita menguap.”
Teori menyebutkan bahwa menguap adalah cara untuk menghirup oksigen ke dalam aliran darah saat kita lelah.
Teori lain mengatakan, menguap berfungsi sebagai mekanisme untuk mendinginkan otak. Namun bagaimana menguap bisa menular masih tetap menjadi misteri.
Pertanyaan soal mengapa anggota keluarga, teman, bahkan binatang peliharaan bisa tertular saat kita menguap sudah menjadi teka-teki sejak jaman Aristoteles.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya kaitan antara ketularan menguap dengan kedekatan hubungan antara orang yang pertama menguap dengan yang ditularinya.
Sebuah study lain menyebutkan bahwa perempuan, yang memiliki rasa empati tinggi, lebih mudah ketularan menguap dibanding laki-laki.
Dan teori paling dominan soal ketularan menguap menyebutkan bahwa fenomena itu terjadi akibat adanya empati dan hubungan sosial yang dekat.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dan mengapa?
Nah, mendukung hipotesa bahwa menguap adalah perilaku sosial, para peneliti mendapati bahwa penyandang autisme umumnya tidak ketularan menguap, begitu juga dengan psikopat.
Selain itu, anak-anak juga tidak terbawa menguap hingga umur empat tahun, usia di mana mereka mulai berkembang secara sosial.
Selain itu, simpanse, primata yang memiliki struktur sosial kompleks juga mengalami fenomena ketularan menguap.
Sedangkan anjing peliharaan bisa ketularan menguap dari manusia, namun bukan dari sesama anjing, seakan mereka tahu siapa teman terdekatnya.
Apakah ini berarti kebosanan, kelelahan, atau hal-hal lain yang membuat stres menyebabkan orang menguap sekaligus membuat lebih dekat satu sama lain?
Bisa jadi demikian, walau kesimpulan ini masih dipertanyakan.
Yang jelas, kebanyakan peneliti sepakat soal kecenderungan seseorang bisa ketularan menguap, dan salah satu penyebabnya adalah rasa empati dan adanya ikatan.
Dan bila ketularan menguap bisa membuat hubungan keluarga menjadi lebih dekat, maka fenomena itu menjadi sesuatu yang berguna dan ada alasannya.
Karenanya berbahagialah bila saat Anda menguap, anggota keluarga yang lain ikut ketularan.
Mungkin itu pertanda adanya ikatan dan hubungan yang dekat.
Penularan menguap nampaknya lebih mudah dihindari seiring bertambahnya usia.
Temuan tersebut berasal dari sebuah studi yang mempelajari tentang menguap yang menular.
Para peneliti menganalisis tiga ratusan responden yang diperlihatkan video orang menguap selama tiga menit. Setiap kali responden menguap, maka mereka wajib menekan tombol.
Peneliti menemukan, enam puluh delapan persen responden menguap saat menonton video, namun lajunya bervariasi pada setiap kelompok usia.
Penelti mengatakan, menguap tidak berhubungan kuat dengan empati ataupun kecerdasan, namun menguap dikatakan memang dapat menular.
Sedangkan studi ini mencoba untuk “melawan” pernyataan tersebut.
Menurut peneliti, usia hanya delapan persen mempengaruhi variasi fenomena “tularan menguap” dalam studi ini. Sementara faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi belum bisa dijelaskan.
Mereka mencatat, pengidap autisme dan skizofrenia cenderung tidak mudah untuk menguap. “Penelitian berbasis genetik dapat membantu menjelaskan kondisi tersebut,” kata mereka.
Setiap orang tentu pernah menguap. Walau menguap identik dengan rasa mengantuk atau bosan, ternyata ada tujuan lain dari menguap.
Hasil sebuah studi terbaru menyebutkan, menguap merupakan kegiatan untuk mendinginkan otak yang “panas”.
Menurut peneliti studi asal Austria tersebut, saat udara di lingkungan lebih panas dari suhu tubuh, maka orang cenderung untuk banyak menguap guna “mendinginkan” otak mereka.
Dalam studi ini, tim peneliti yang diketuai oleh Jorg Massen dari University of Vienna melacak perilaku menguap dari orang-orang yang berjalan di Vienna, Austria, selama musim panas dan dingin.
Peneliti kemudian membandingkan hasilnya dengan penelitian serupa yang dilakukan di Arizona.
Selain itu, peneliti juga melakukan penelitian lain pada sejumlah peserta untuk melihat gambar orang menguap. Tujuannya untuk memicu peserta mengalami apa yang disebut dengan “menguap yang menular”. Peneliti kemudian menganalisis perilaku menguap peserta.
Hasil penelitian menunjukkan, orang-orang di Vienna lebih banyak menguap di musim panas ketimbang musim dingin.
al ini justru bertolak belakang dengan mereka yang berada di Arizona. Peneliti juga menemukan, menguap yang menular paling banyak terjadi saat suhu udara berada sekitar dua puluhderajat celcius.
Studi yang dipublikasi dalam jurnal Physiology & Behavior itu pun menyimpulkan, menguap untuk mendinginkan otak tidak akan terjadi saat suhu lingkungan tidak sepanas atau lebih panas dari tubuh.
Mekanisme mendinginkan otak juga tidak diperlukan di udara dingin.
Selama ini menguap dipercaya meningkatkan pasokan oksigen bagi tubuh, namun peneliti mengatakan tidak ada studi yang membuktikan demikian.
Oleh karena itu mereka berpendapat, menguap yang terjadi secara spontan ataupun karena mengikuti orang di sekitar yang sedang menguap tetap bertujuan untuk mendinginkan otak.
Mendinginkan otak diketahui dapat bermanfaat bagi performa otak. Pendapat yang menyebut menguap bisa menular berhubungan pula dengan evolusi yang meningkatkan rasa awas pada sejumlah kelompok orang.