Stroke memang penyakit mematikan dan, kalau pun sembuh, setengah dari penderitanya akan mengalami cacat dalam berkomunikasi. Tak percaya, datangilah teman Snda yang pernah sembuh dari stroke dan cobalah berkomunikasinya dengannya. Ada yang hilang dari “keintiman”nya. Ia akan memerlukan waktu untuk membalas setiap ucapan Anda.
Bahkan tak jarang, di antara mereka, terpaksa mengabaikan setiap dialog yang yang agak panjang karena kesulitan menemukan jawaban yang pas karena respon memorinya kacau. Kalau pun mereka menemukan jawabannya yang pas, ketika mengucapkannya terbata-bata.
Gangguan berkomunikasi itu juga membuat mereka kesulitan membaca, menulis, dan berbicara. Hal tersebut terjadi karena bagian otak di sebelah kanan yang berkaitan dengan fungsi berbahasa mengalami kerusakan. Gangguan kemampuan berkomunikasi ini disebut dengan “afasia” di kalangan kedokteran.
Sebuah studi baru mengindikasikan, memindahkan kemampuan berkomunikasi ini ke otak kanan mungkin dapat membantu mempercepat pemulihan pasien dalam merespon setiap dialog..
Studi yang dimuat dalam jurnal “Restorative Neurology and Neuroscience” ini menganalisa 27 orang dewasa tidak kidal yang berhasil sembuh dari stroke di otak bagian kiri. Umumnya mereka yang pulih dari afasia dan ini adalah bagian dari berfungsi kembali otak kiri secara normal.
“Secara keseluruhan, kira-kira ada 30 persen dari pasien stroke yang menderita pelbagai tipe afasia. Yang paling sering terjadi pada pasien stroke adalah kerusakan utama pada otak kiri bagian tengah,” ujar Jerzy Szaflarski, dari Departemen Neurologi Universitas of Alabama dan University of Cincinnati Academic Health Center.
“Pasien dapat pulih dalam hitungan bulan atau tahun setelah stroke. Proses penyembuhan tergantung pada beberapa faktor, namun pengaruh dari area otak yang tidak rusak akibat stroke terhadap proses penyembuhan ini belum jelas,” tutur Szaflarski.
Menurut para peneliti, temuan ini memberikan wawasan baru dan dapat menjadi awalan untuk pengembangan metode rehabilitasi bahasa yang lebih baik bagi penderita stroke.
Para peneliti mencatat bahwa pergeseran fungsi bahasa ke otak kanan mungkin dapat membantu pemulihan afasia, terutama pada anak-anak yang mengalami kerusakan otak kiri. Namun pada orang dewasa mungkin malah akan menghambat pemulihan. Hal tersebut karena orang dewasa lebih mengandalkan otak kiri untuk memelihara dan memulihkan kemampuan berbahasa.
Stroke memang tak membedakan usia. Jangan pernah lagi berpikir mengenai pasien stroke pada seseorang yang berusia lanjut, kelebihan berat badan, malas berolahraga, dan perokok.
Stroke juga mengingatkan mereka yang mengalami gangguan irama jantung untuk berhati-hati terhadap serangannya. Gangguan ini merupakan salah yang menjadi pemicu stroke. Sekitar dua dari lima kejadian stroke dipicu oleh gangguan irama atau aritmia jantung.
Untuk menjalankan fungsi utamanya sebagai pemompa darah, jantung memiliki “gardu listrik” dan kabel-kabel yang merangsang jantung untuk berdenyut secara ritmis atau teratur. Kerusakan pada kabel atau sumber listrik akan memicu gangguan irama jantung.
Keluhan akibat aritmia jantung yang umum dialami pasien antara lain rasa mudah lelah, pusing, sesak, sakit di dada, mudah pingsan, serta jantung berdebar-debar atau denyut jantung tak teratur.
Irama jantung yang normal adalah sekitar 60-100 kali per menit saat istirahat. “Untuk menghitungnya bisa dengan cara memegang nadi di pergelangan tangan,” kata Daniel.
Gangguan irama jantung sebagian besar dipicu oleh gaya hidup yang kurang sehat. Misalnya olahraga tidak teratur, hipertensi, kurang istirahat. Namun ada juga yang disebabkan oleh kelainan pada tubuh, misalnya gangguan pada katup jantung atau pada “kabel-kabel” jantung.
Untuk mendiagnosa gangguan irama jantung ada beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan pasien, antara lain melakukan rekam jantung (EKG), pemeriksaan USG jantung (echocardiografi), tes treadmill, hingga holter monitoring atau pemasangan alat rekam jantung selama 24 sampai 48 jam.
Daniel mengatakan, gangguan irama jantung memang belum mendapat perhatian dari masyarakat. Fasilitas perawatan penyakit itupun sangat sedikit di Indonesia. “Baru sekitar 5 rumah sakit yang punya fasilitas tersebut dan hampir seluruhnya di Jakarta. Bandingkan dengan Korea Selatan yang berpenduduk 40 juta jiwa tapi ada 20 rumah sakit yang bisa menangani penyakit ini,” paparnya.
Saat ini sudah ada obat-obatan untuk terapi gangguan irama jantung. Pada taraf yang lebih kompleks dokter akan memasang alat pacu jantung sementara atau permanen untuk irama jantung yang terlalu lambat.