“Lelet.” Itu sebuah kata yang yang populer di lingkungan pengguna internet di Banda Aceh. “Lelet” adalah sebuah umpatan dari akses internet yang merambat pelan, dan terkadang “bleng.” Yaitu terputus.
Datanglah ke kafe-kafe yang memiliki “wifi” di selingkar pinggang kota Banda Aceh. Dengarlah umpatan dan keluhan bernada aahhh… dari pemilik “laptop” ketika akses jaringan internetnya melambat. Terkadang ada hentakan kaki atau gebrakan tangan ke meja yang menimbulkan suara gaduh ketika sesorang yang sedang men”download” atau meng”upload” terputus. Padahal hasil yang dapatkan sudah mendekati final.
“Lelet” dan akses terputus. Itu yang tak habis-habisnya diperbincangkan kalangan “internetis” tentang kualitas akses jaringan telekomunikasi di negara ini. Ini tidak hanya terjadi di Banda Aceh. Hampir di semua jaringan internet yang dioperasikan oleh operator di Indonesia masih leletan.
Tahu sebabnya? Banyak kalangan yang tidak tahu sejarah kenapa akses internet di Aceh atau Indonesia sangat jelek. Ini sejarahnya. Sejarah dari pengembangan jaringan telekomunikasi kanal lebar berbasis kabel serat optik yang telah dicanangkan sejak 1996 melalui Program Nusantara 21. Namun, program itu terhenti sebelum masuk abad ke-21.
Kebijakan yang tak konsisten ini menyebabkan Indonesia kini tertinggal dalam layanan telekomunikasi di kawasan ASEAN serta masih menghadapi masalah kesenjangan layanan informasi dan komunikasi.
Menurut Setyanto P Santosa, mantan Direktur Utama Telkom yang kini jadi Ketua Umum Masyarakat Telekomunikasi Indonesia, posisi negara ini menurun dari posisi pertama pada era 1970 hingga 1980-an menjadi di bawah empat negara, yaitu Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Setyanto kepada wartawan mengatakan, tentang rencana penyelenggaraan ASEAN Chief Information Officer Forum II yang akan diselenggarakan di Jakarta pada Juni mendatang, Setyanto mengatakan, dalam penyediaan layanan telekomunikasi, Indonesia mengandalkan jaringan nirkabel, yaitu sistem seluler dan satelit.
Padahal, jenis prasarana telekomunikasi ini lebih rendah dalam hal kualitas dan kecepatan penyampaian sinyal dibandingkan sambungan kabel serat optik.
Jaringan telekomunikasi di Indonesia, ujar mantan Direktur Utama PT Telkom Indonesia itu, 95 persen berupa telekomunikasi nirkabel dengan kualitas sambungan buruk. ”Dengan sarana ini, komunikasi suara saja buruk, apalagi data, gambar, dan video,” ujar Setyanto.
Seharusnya, menurut dia, Indonesia mengikuti tren pengembangan telekomunikasi yang terjadi di dunia. Layanan telekomunikasi di negara maju, 60 persen menggunakan kabel serat optik. Teknologi itu memiliki beberapa kelebihan, antara lain bebas gangguan, berkecepatan tinggi, dan berkapasitas tinggi.
Masalah layanan telekomunikasi ini akan menjadi salah satu bahasan dalam forum tersebut. Selain itu, juga akan dibicarakan tentang penerapan satu sistem operasi (platform) yang akan dipakai di kawasan ASEAN.
Dalam hal ini akan dibahas kembali program ASEAN Go Open Source, yang pernah dicanangkan beberapa tahun lalu, kata Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Hammam Riza