Kehadiran media sosial pada generasi tua atau mereka yang lanjut usia memberi dampak baik berupa pengurangan depresi
‘Berlainan dengan eksistensi media soaial pada generasi milenial yang sering dikaitkan dengan dampak buruk, tidak dengan orang tua,” tulis sebuah jurnal terbitan New York
“Pada orang tua, media sosial justru memberikan manfaat positif,” tulisnya
Penelitian terbaru di Amerika Serikat menunjukkan bahwa bersosialisasi secara daring dapat mengurangi depresi pada orang lanjut usia.
Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Journals of Gerontology, Series B itu menyatakan, penggunaan media sosial untuk berinteraksi dengan keluarga dan teman membuat lansia lebih rileks.
Apalagi jika mengingat kebanyakan lansia lebih banyak tinggal di rumah dan menderita sakit.
Peneliti menganalisis tiga ribuan partisipan berusia enam puluh tujuh tahun atau lebih. Semua partisipan ini tinggal di panti jompo.
Sebanyak satu dari tiga lansia itu tinggal sendiri dan lima puluh empat persen merasakan sakit selama satu bulan terakhir.
Hasilnya, lansia yang menggunakan media sosial memiliki tingkat depresi yang lebih rendah.
Sebanyak enam persen dari mereka yang menggunakan media sosial dilaporkan mengalami gejala depresi.
Angka itu lebih rendah dari mereka yang tidak menggunakan media sosial sebanyak lima belas persen.
“Menggunakan media sosial untuk berhubungan dengan anggota keluarga dan teman adalah cara yang baik bagi lansia untuk membatasi aktivitas sosial mereka karena sakit,” kata salah satu peneliti dari University of Michigan, Shannon Ang, dikutip dari Reuters.
Ang berharap, lewat penelitian ini, ada banyak orang tua yang dapat belajar menggunakan komputer dan media sosial karena terbukti dapat mengurangi rasa sakit, isolasi sosial, dan rasa kesepian.
Meski dinilai bermanfaat, ahli dari Dana-Farber Cancer Institute, William Pirl tidak menyarankan semua lansia menggunakan media sosial. Menurutnya, media sosial juga dapat berdampak buruk bagi lansia.
“Sangat diketahui dukungan sosial dapat membantu depresi dan gejala fisik. Orang-orang meresponnya secara berbeda. Beberapa dapat menjadi lebih cemas mendengarkan cerita orang lain. Ada banyak variabilitas apakah media sosial tepat untuk Anda atau tidak,” kata Pirl
Sebelumnya, sebuah penelitian lainnya menyebutkan bahwa mereka yang berusia
Jenis depresi ini dikenal dengan depresi agitasi.
Lantas apa penyebab seseorang yang depresi cepat marah?
Pengidap depresi seringkali digambarkan sebagai orang yang loyo, selalu bermuram durja, susah berkonsentrasi, dan tidak produktif.
Namun demikian, beberapa orang yang depresi bisa terus bersekolah, bekerja, bahkan tetap hangout dengan teman-temannya seperti biasa. Mereka berbuat demikian sebagai upaya untuk menutupi gejala depresi yang mereka miliki.
Segelintir orang memilih untuk menyembunyikan depresinya dengan senyuman dan tawa.
Di sisi lain, beberapa orang depresi justru cenderung akan menunjukkan perilaku negatif, seperti amarah, kecetusan, dan rasa frustrasi berlebihan.
Ini adalah “tameng” pertahanan dirinya untuk menangkal pertanyaan-pertanyaan usil orang sekitar ketika suatu saat melihatnya tampak lebih murung dan sedih.
“Apaan sih, nanya-nanya!
Nggak usah berlagak peduli deh!”
Inilah yang disebut depresi agitasi.
Depresi agitasi termasuk sebagai subtipe dalam kategori depresi klinis alias depresi mayor
Selain marah dan kecemasan berlebih, depresi jenis ini juga dapat memunculkan gejala psikomotorik, seperti badan yang tidak bisa diamemari, memainkan atau memilin-milin rambut, menggigit jari atau kuku, menggosokkan atau menggaruk kulit, berteriak atau banyak bicara.
Beberapa hal sangat mungkin menyebabkan seseorang yang depresi cepat marah, di antarany, mengalami kejadian traumatis di masa lalu.
Selain itu stress jangka panjang, ketidakseimbangan hormo, kelenjar tiroid yang, orang aktif, gangguan bipolar dan gangguan kecemasan.
Dalam beberapa kasus, jenis obat tertentu dapat memicu gejala depresi agitasi.
Oleh karena itu, penting bagi orang yang berisiko depresi untuk menghindari substansi tersebut.
Beri tahukan ke dokter jika Anda pernah mengalami depresi dan memiliki riwayat penggunaan obat yang bisa memicu gejala agitasi dan mintalah untuk mengganti obat tersebut.
Depresi agitasi sedikit sulit dibedakan dengan gangguan bipolar karena keduanya sama-sama menunjukkan gejala perubahan mood secara drastis (mood swing).
Depresi agitasi juga cukup sulit dibedakan dengan depresi biasa pada umumnya. Namun apabila Anda tidak memperhatikan dan menangani gejala agitasi tersebut, kondisi ini dapat menjadi tambah parah.
Dalam penentuan diagnosisnya, psikolog dapat mengenali depresi agitasi lewa cara bicara dan berperilaku serta perubahan mood.
Dokter juga harus menghilangkan dugaan gangguan bipolar serta melakukan pemeriksaan darah jika diperlukan untuk mendeteksi ada tidaknya defisiensi vitamin dan ketidakseimbangan hormon pemicu depresi.
Diagnosis depresi agitasi juga dapat mencakup pemeriksaan fisik dengan rontgen, scan MRI atau magnetic resonance imagin, pemeriksaan tulang belakang, sampel urin, dan pemeriksaan tanda vital dasar.
Hal ini dilakukan untuk mengeliminasi kemungkinan gejala depresi agitasi disebabkan oleh gangguan kesehatan lainnya.
Setelah dipastikan bahwa seseorang mengalami depresi, maka dokter juga mungkin akan memeriksa karakteristik agitasi pada pasien.
Seseorang dengan depresi agitasi sangat berisiko untuk melakukan perilaku-perilaku yang dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain di sekitarnya.