Tren ponsel layar lipat sedang menjadi tren terkini Banyak vendor besar yang mulai menggarap ponsel yang mengusung ponsel berengsel ini.
Samsung, Huawei, LG, Motorolla Xiaomi, hingga Vivo berbondong-bondong menggarap ponsel dengan teknologi teranyar ini.
Dua nama pertama bahkan telah mengumumkan produk ponsel layar lipat berupa Galaxy Fold dan Mate X. Akan tetapi, gawai-gawai memang belum beredar di pasaran dan para penggila gadget mesti bersabar hingga akhir kuartal 2019 untuk bisa memilikinya.
Pengamat gawai Herry SW meyakini ponsel layar lipat akan digandrungi oleh konsumen di Indonesia. Alasannya, gawai sudah dianggap menjadi sebuah bagian dari gaya hidup manusia.
Masyarakat di Indonesia sangat mementingkan kenyamanan gaya hidup, salah satunya adalah dengan menggunakan ponsel untuk meningkatkan kasta atau status dirinya
“Kalau bicara pasar Asia, lebih spesifik di Indonesia, ponsel lipat itu pasti laku. Indonesia itu adalah pasar yang sangat peduli dengan lifestyle. Jadi kemarin kalau mereka pakai suatu perangkat terbaru duluan, seolah kasta naik satu level, dua level. Itu cerita lama, mulai dari zaman Nokia Communicator dulu, punya duluan, gaya duluan,” kata Herry
Herry melanjutkan, demi gaya, konsumen Indonesia mengesampingkan harga, daya tahan, fitur, hingga fungsi ponsel. Pasalnya, daya tahan layar yang digunakan ponsel-ponsel lipat ini terbilang cukup rentan.
Layar dari Samsung Galaxy Fold sendiri hanya kuat ditekuk-tekuk hingga sepuluh ribu kali. Sehingga, Samsung tengah mempertimbangkan untuk memberikan penggantian layar gratis bagi para pembeli ponsel ini.
Herry menyebut para penyuka gadget teranyar ini sebagai “Early Adopter”. Early Adopter adalah orang-orang yang sangat menginginkan melakukan hands on ke perangkat teranyar. Ia yakin Indonesia memiliki daya beli yang mumpuni.
“Andaikan masuk, saya tetap optimis ada pasar. Orang-orang lifestyle yang suka perangkat itu ‘Early Adaptor’ . Mereka ingin perangkat terbaru, harga tidak masalah, yang penting punya duluan,” kata Herry.
Tantangan yang akan diterima para vendor, bagi Herry, justru berasal dari pasar di benua Eropa yang lebih ‘rasional’ dibandingkan pasar Asia.
“Kalau berbicara di Eropa itu yang mereka sebetulnya beli gadget rasional. Ini ujian yang sebenarnya buat para produsen. Penjualan di Eropa bagaimana, mereka kan lebih rasional dari Asia, apalagi orang Indonesia,” kata Herry.
Sementara itu, CEO Erajaya Hasan Aula saat dihubungi dalam kesempatan terpisah mengatakan pasar Indonesia dipandang memiliki potensi tinggi untuk menjual ponsel layar lipat.
“Menurut saya ada segmen konsumen yang memang mencari produk yang seperti ini dan ini merupakan new design sehingga bisa laku di Indonesia,” kata Hasan.
Hasan mengatakan ponsel layar lipat ini akan memiliki segmen pasar yang cukup sempit
“Ada konsumen yang memang suka desain baru dan harga segitu masih oke. Secara massal ini pasti tidak digunakan tapi ada segmen yang memang mampu beli,” kata Hasan
Herry mengatakan rumor ponsel layar lipat ini sesungguhnya sudah dimulai sekitar delapan tahun lalu. Saat itu ada vendor ponsel yang menunjukkan prototipe konsep awal dari ponsel layar lipat.
Samsung dan LG pun sempat memamerkan teknologi layar fleksibel mereka di beberapa kesempatan. Namun, sejak saat itu ponsel-ponsel lipat ini masih bertahan dengan status prototipe.
Sejak itu ponsel layar lipat secara perlahan mulai digarap para vendor besar. Herry menilai para pemain besar ini harus selalu memiliki teknologi terbaru dan membentuk suatu pangsa pasar. Sudah dua tahun belakangan, para produsen ponsel kerap berperang di bagian kamera dengan menyematkan berbagai kecerdasan buatan (AI) untuk mengoptimalisasi gambar.
Herry mengatakan sudah saatnya para produsen mencari medan perang terbaru. Medan perang terbaru ini merupakan ajang untuk menunjukkan siapa pionir dalam teknologi teranyar di ponsel pintar.
Herry menjelaskan teknologi layar ponsel pintar memang masih banyak yang bisa dieksplorasi. Sehingga, produsen bisa berinovasi memberikan berbagai teknologi yang disematkan dalam layar.
Bahkan Herry mengatakan produsen bisa dengan mudah menggoreng kampanye-kampanye teknologi teranyar di dalam layar.
“Kalau ponsel lipat itu berarti nanti mereka bisa banyak yang bisa digoreng dari layar lipat. Misalnya masalah fleksibilitas, perpaduan antara ponsel dan tablet,” kata Herry.
Saat ini, para vendor baru menonjolkan teknologi soal perubahan mode dari ponsel pintar ke tablet. Menurut Herry masih banyak teknologi ponsel layar lipat yang bisa dieksplorasi oleh para vendor.
“Mulai berbicara feature phone jadi smartphone atau smartphone jadi tablet karena begitu dibuka bisa membesar layarnya ponsel tablet. Seolah mengantongi fitur phone tiga inci tapi ketika diperlukan bisa jadi enam inci atau tujuh inci,” kata Herry
Membicarakan siklus kehidupan produk, saat ini ponsel layar lipat masih dalam tahap pengenalan atau introduksi ke pasar. Saat ini vendor sedang mencari dan menyempurnakan konsep ideal dari ponsel layar lipat.
“Kalau berbicara soal kemampuan belum benar benar optimal, secara dimensi visi belum optimal, kemudian dari skala ekonomi belum optimal. Intinya adalah ponsel lipat saat ini masih tahap mencari bentuk ideal dan mencari kemampuan,” kata Herry.
Meskipun pihak Samsung atau Huawei sudah meluncurkan ponsel lipat pertama. Peluncuran ini juga pasti sudah dilakukan dengan berbagai pengujian internal mulai dari daya tahan hingga spesifikasi.
Akan tetapi, Herry mengatakan sesungguhnya pasar yang akan melakukan pengujian. Pasar yang nanti menentukan spesifikasi hingga berbagai varian dari ponsel layar lipat ini.
“Memang benar Samsung dan Huawei sudah berjualan, tapi meskipun sudah lakukan pengujian internal perusahaan, tetap saja kondisi pasar yang akan tentukan. Perilaku pemakai itu beda-beda,” ujar Herry.
Oleh karena itu, Herry memprediksi ponsel layar lipat ideal bisa ditemukan dalam satu hingga dua tahun lagi. Produsen masih harus melakukan berbagai riset dan pengembangan agar dapat melahirkan produk yang mendekati sempurna.
“Karena pasti selalu ada tahapan tahapan. Jangankan yang melipat, yang konteks layar tepian melengkung juga perlu proses agak lama,” kata Herry.
Herry pun menanti para produsen untuk berani memproduksi ponsel layar lipat di dalam negeri. Dengan memproduksi di dalam negeri, artinya produsen memenuhi tingkat kompnen dalam negeri dengan skema manufaktur (hardware).
Selain itu, dengan semakin diminatinya ponsel layar lipat, maka pasti dibutuhkan stok ponsel yang pintar yang bisa dibantu dengan memproduksi di dalam negeri.
“Kalau pakai hardware saya tidak yakin pabrikan di sini mampu ponsel layar lipat, Yang jadi masalah beranikah mereka bawa produksi ke Tetap ada hitung-hitungan bisnis. Supaya vendor ini break even point (BEP) paling tidak harus masukan berapa ribu unit,” kata Herry.