Kota kecil itu bernama Kiruna. Kota, nun jauh di puncak Kutub Utara sana.
Ya. Kiruna kota kecil di perbatasan kutub, dan berjarak seribuan kilometer lebih dari Stockhholm, ibu kota Swedia.
Apa istimewanya kota kecil di kutub yang hanya dihuni oleh lima ribuan orang, dan tujuh ratus di antara pengungsi muslim dari Suriah itu?
Kiruna menjadi istimewa ketika puasa datang
Kiruna, seperti diliput jaringan televisi Al Jazzera sepekan sebelum puasa adalah perpaduan sensasi alam dengan perjalanan wakti ibadah Ramadhan memang unik dikaitkan dengan puasa, sahur dan berbuka.
Lantas apa yang paling menarik dari ketiganya. Puasa, sahur dan berbuka.
Nah. Seperti diungkapkan oleh reporter Al Jazzera, Hashim Adhan, Kiruna, ketika musim panas datang dan Ramadhan menghampiri, Matahari tak pernah tenggelam.
Ya Matahari tak pernah tenggelam swelama dua puluh empat jam di kota kecil ini. Kota ini terus benderang dilumuri cahaya Matahari yang membasuh lereng-lereng gunung salju dan atap-atap rumah serta jalanan.
Kalau begitu kapan umat muslim di sana berbuka, sahur dan menjalani ritual puasa yang dipresentasikan dengan menahan diri dari makan dan lainnya?
Itulah uniknya Kiruna.
Ketika kru televisi jaringan Al Jazzera datang kesana, pada hari-hari pertama Ramadhan, Matahari terus bersinar sepanjang hari menyapu gunung-gunung es dan mesyarakatnya “tak pernah tidur” karena malam telah “raib.”
Lantas siapa muslim yang menetap di Kiruna?
Sebagian besar Muslim di Kiruna adalah para pencari suaka yang ditampung di kota itu sembari menunggu klaim mereka diproses.
Nnah, Ramadhan tahun ini, komunitas muslim Kiruna menjalani ibadah puasa dengan penuh tantangan.
Sebab, antara 28 Mei 2015 hingga 16 Juli 2015, matahari terbit dua puluh empat jam. Atau sepanjang siang dan malam.
“Sepanjang perjalanan hari itu kami tidak punya malam. Artinya, selama separuh dari bulan puasa ini tahun ini kami Kiruna menjalaninya dalam suasana terang benderang,” ujar Ghasan seorang pencari suaka asal Suriah.
Lalu, bagaimana mereka menjalankan ibadah puasa?
Ghasan kepada reporter Al Jazzera mengatakan, “kami mulai santap sahur pada pukul 03.30 dini hari. Saat itu, matahari sudah bersinar terang. Saat akan tidur, saya pasang dua tirai di jendela, tetapi tetap saja cahaya tetap matahari masuk.
Karena tak ada otoritas tunggal Islam Sunni yang bisa memberikan fatwa soal menjalankan puasa di kawasan seperti ini, umat Islam di belahan bumi sebelah utara setidaknya menggunakan empat jadwal berbeda untuk berbuka.
Ghassan bersama keluarganya memiliki keyakinan sendiri untuk tetap berpuasa di Kiruna.
“Saya menggunakan jadwal di Mekkah, Arab Saudi.”
“Saya menggunakan jadwal Mekkah karena kota itu adalah tempat lahirnya Islam. Namun, saya juga khawatir apakah ibadah puasa saya diterima Tuhan,” ujar Ghassan dengan sedikit bimbang dan ditutup dengan ketawa kecil untuk menghapus keraguannya..
“Saya tak tahu apakah saya sudah menjalankan ibadah dengan benar. Saya akan tahu jika saya masuk surga kelak,” ujar Ghassan dengan sedikit bercanda.
Ghasan tiba di Swedia tujuh bulan lalu setelah melakukan perjalanan panjang lewat Lebanon, Turki, dan Yunani.
Berlainan dengan Ghasan. Beberapa temannya mengikuti jadwal puasa yang berlaku di ibu kota Stockholm yang berjarak seribu kilometre lebih di selatan Kiruna.
Mereka menggunakan jadwal itu mengikuti saran dari Dewan Riset dan Fatwa Eropa, sebuah lembaga swasta beranggotakan para ulama yang berbasis di Dublin, Irlandia.
Berlainan juga dengan Ghasan. Mustafa mengatakan, “Tak menunggu matahari terbenam utnuk berbuka dan sahur”
Ali Melhem, telah tinggal di Kiruna, selama dua puluh tahun harus menahan lapar lebih dari dua puluh “Saat pindah kemari, waktu itu masih musim semi, sekitar bulan Maret – Mei,” paparnya, seperti yang dikutip dari The Local. Melhem sebenarnya tidak tinggal diam.
Bersama istrinya, ia berusaha mencari solusi. Beberapa muslim lain dari Irak sampai Iran memberinya saran kalau Melhem bisa berpuasa pada musim gugur nanti. Atau berbuka sama seperti waktu Mekkah.
Melhem juga dianjurkan untuk berbuka dengan mengikuti waktu puasa di kota erdekat. Namun hampir sama, di Lulea atau Umea juga harus menahan lapar selama dua puluh tiga jam sehari.
Sampai saat ini, memang belum ada riset yang menganalisis tentang efek buruk berpuasa terlalu lama bagi kesehatan, demikian menurut Omar Mustafa, direktur Islamic League di Swedia.
“Beberapa imam dan organisasi Islam punya pendapat berbeda. Sebenarnya itu terserah mereka, Islam menawarkan berbagai pilihan yang tidak pernah menyulitkan,” ungkap Mustafa.
Sementara itu, menurut para ahli di Mesir – di mana jadwal puasa mereka adalah menahan lapar lebih dari delapan belas jam sehari – menyarankan bahwa seseorang bisa mengikuti jadwal berbuka seperti negara Islam yang paling dekat.
Namun ada juga pendapat yang menyatakan, tidak peduli lama atau sebentar, seseorang wajib berpuasa sesuai dengan waktu di tempat tinggalnya.