Rawa Tripa, hutan gambut yang dulunya eksotis menunggu punah akibat pembukaan lahan perkebunan. Telah raib dengung uir-uir, hilang bersama siamang, gajah dan harimau. Jelaga hitam dan bau apak menyapa ketika kami menapaki areal di sudut Nagan Raya.
Darmansyah, penulis kami, mencoba membangkitkan kembali ingatan pada kisah rawa yang menjadi kebanggaan anak asoe lhok sepanjang aliran Krueng Tripa. Tulisan panjang ini dimuat dalam beberapa seri, berkisah, tentang rawa dan anak negerinya.
***
Sengkarut izin pengalihfungsian lahan di Rawa Gambut Tripa, hampir dipastikan selesai, setelah jalan pendekatan antar petinggi Jakarta menemukan kesepakatan win-win solution dengan para tokoh Aceh, agar perkara “kejahatan” pembancakan lahan itu tak teramat panjang dengan polemik unsur pidana.
Upaya jalur damai bergerak cepat. Sebuah tim, seperti dibisikkan seorang petinggi daerah ini kepada kami, Juni lalu, diterjunkan dari Jakarta untuk menjinakkan alur liar perkara ini dari muara kejahatan lingkungan untuk kasus perizinannya. “Setting kasus perizinan sudah selesai skenarionya,” kata sang sumber.
Menurut sang sumber mereka telah menemukan jalan lurus untuk memindahkan proses pemberian izin salah kaprah itu ke alur kebijakan berupa pembatalan izin. Jalan pembatalan izin ini, diungkapkan, akan aman dari tuduhan pelanggaran yang isi pasal-pasalnya disertai ancaman pidana yang bisa menyeret pelakunya ke pengadilan.
Sejak Juni, telah ada sinyal, izin lahan atas nama PT Kalista Alam seluas 1605 hektar akan dibatalkan oleh Gubernur Aceh terpilih nantinya, dengan alasan kesalahan administrasi serta mentaklimatkan restorasinya untuk dikembalikan menjadi hutan rawa gambut sesuai dengan pernyataan menteri kehutanan.
Isyarat untuk tidak membawa kasus perizinan alih fungsi rawa gambut Tripa kepada PT Kalista Alam ke ranah pidana, yang menyeret Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh terdahulu, memang terbaca sejak awal ketika kasus ini mencuat ke permukaan.
Statemen Kapolda Aceh, Irjen Pol Iskandar Hasan, yang sangat cair dan enggan berbantahan tentang nama tokoh yang akan diseret ke ranah penyidikan mengisyaratkan adanya kesepakatan “jalan damai”.
‘Kita telah menangkap gejala yang kuat tentang ujung penyelesaiannya. Rancangan setting ke arah mana muara kasus ini akan disumbat telah terbaca amat jelas,” ujar seorang pemerhati lingkungan..
Beberapa kali, ketika dicecar oleh wartawan tentang proses hukum perizinan alih fungsi lahan gambut tersebut, Iskandar yang mantan Kepala Divisi Humas Polri itu selalu berkilah bahwa pihaknya belum menemukan pelanggaran pidananya. Bahkan, mantan Kapolres Aceh Utara dimasa konflik Aceh itu, enggan berpanjang-panjang menjelaskannya.
Upaya jalan damai kasus izin Rawa Gambut Tripa ini, seperti dibisikkan kepada kami oleh seorang tokoh yang bergerak di NGO Lingkungan, beraroma politik tingkat tinggi dan melibatkan tokoh-tokoh Aceh berlabel nasional dari sebuah partai politik Jakarta. Ada pertemuan intensif yang mendiskusikan bagaimana kasus ini digelandang ke jalan damai.
“Inisiatif ini dilakukan untuk menghindari kesan balas dendam dipergantian kepemimpinan Aceh. Semuanya sudah sepakat untuk tidak membawa pemberi izin ke pengadilan. Lebih besar mudharat dari manfaatnya, ” kata seorang tokoh yang tahu lika-liku jalan menuju damai ini.
Ia juga mengiyakan, jaringan personal sebuah partai Jakarta yang wira-wiri merumuskan kebijakan itu. “Anda sudah tahu apa partai dan siapa orangnya.
Pokoknya mereka yang dekat dengan kebijakan di sektor kehutanan,” katanya tersenyum sinis dan menghindarkan untuk memanjangkan komentar.
Bahkan seorang bupati dari barat Aceh yang bertemu dengan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan secara khusus telah meminta untuk menghentikan upaya menyeret bekas pejabat puncak Aceh itu.
Menurut seorang tokoh yang sangat dipercaya, Menteri Kehutanan telah mengiyakan permintaan itu.
Walau pun menyekat kasus perizinan ke “damai”, kasus lainnya, pembakaran lahan tetap akan dilanjutkan dengan memakai jerat Pasal 108 Undang Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang ancamannya, penjara minimal 3-10 tahun dan denda minimal Rp 1 milyar hingga Rp 10 milyar.
Melajunya kasus pembakaran lahan ini dengan membidik pengelola PT Surya Panen Subur (SPS) 2 dan PT Kalista Alam sebagai tersangka telah masuk pada pemeriksaan saksi.
Bahkan, Pengadilan Negeri Meulaboh telah melempangkan jalan dengan menetapkan sita barang bukti berupa dokumen, sampel tanah, dan tunggul-tungul yang terbakar. PT SPS 2 diduga membakar lahan seluas 1.183 hektar di pertengahan dan akhir Maret lalu. Sedangkan lahan Kalista Alam yang dibakar, 30 hektar.
PT SPS sendiri, seperti dikatakan direkturnya, Eddy Sutjahyo Busiri, menolak pernah membakar lahan gambut setebal 3 meter di Rawa Tripa itu. Ia, bahkan siap menyediakan barang bukti dan data ketidakterlibatan pihaknya.
Upaya mengelak dari kasus kejahatan lingkungan dari PT Surya Panen Subur berlangsung sistematis. Eddy Sutjahyo Busiri sendiri bersama segepok stafnya pernah mendatangi redaksi sebuah surat kabar harian paling ternama di Jakarta untuk mengadu argumentasi, bahwa mereka tidak pernah “membakar” lahan gambut konsesinya di Tripa. Ia juga menantang untuk membuktikan tidak adanya unsur kesengajaan membakar lahan.
Untuk menjauhkan ancaman kejahatan pasal-pasal pidana hukum lingkungan ini, pihak PT Surya Panen Subur juga mencari dukungan hingga ke Nagan Raya. Menurut sebuah sumber pejabat Bupati Nagan Raya pernah dipertemukan oleh seorang calo mediasi dengan staf PT SPS di Jakarta yang intinya untuk “menghapus” tuduhan pembakaran lahan. Sang bupati menyambut hambar tawaran damai itu walaupun sang calo, usai pertemuan itu masih mengontak denganmengiming-imingi janji balas jasa bila mampu menyingkirkan tuduhan terhadap PT SPS.
Ketika diklarifikasi, sang bupati mengiyakan adanya pertemuan itu. Tapi ia tidak merinci detil pembicaraan. ”Seputar kasus lahan lahan itulah. Ya, biasalah maunya pengusaha,” katanya pendek.
Pihak Kementerian Lingkungan Hidup yang menunjuk Dekan Fakultas Kehutanan IPB Bambang Heru Saharjo dan Kepala Laboratorium Pengaruh Hutan lembaga yang sama, Basuki Wasis, yakin ada kejahatan di lahan rawa gambut itu. Mereka bersama timnya telah turun ke lapangan dan menemukan segepok bukti untuk membuat laporan tentang kerusakan lingkungan dari hulu hingga ke hilir. Dari pemberi izin sampai pihak yang memanfaatkan lahan..
Keduanya, ketika dihubungi dalam kaitannya keluarnya izin untuk PT Kalista Alam tak mau memberi komentar. Tugas kami menemukan bukti kejahatan dalam pembukaan lahan. Tidak untuk menetapkan siapa yang jadi tersangka.
Pemberian izin alihfungsi lahan Rawa Gambut Tripa untuk PT Kalista Alam yang dikeluarkan Gubernur Aceh, ketika itu Irwandi Yusuf, seluas 1.605 hektar disinyalir menyalahi aturan. Saat izin keluar di bulan Agustus 2011, padahal pada waktu itu seluruh izin pengalihan lahan sedang memasuki masa penghentian seperti yang diputuskan oleh presiden di bulan Mei tahun yang sama.
Moratorium inilah yang menjadi alasan beberapa pihak, seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan REDD+, meminta dilakukan investigasi forensik terhadap deferosteri atas sisa lahan gambut Tripa. Lahan gambut yang sejak tahun 2010 telah dimasukkan ke dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Investigasi forensik ini secara khusus diajukan oleh Kepala UKP4 Kuntoro Mangkubroto yang juga koordinator REDD+ kepada Kementeriang Lingkungan Hidup setelah diperoleh data akurat bahwa pemegang izin telah melakukan pembakaran lahan untuk kepentingan landclearing.
Upaya investigasi forensik ini, menurut sebuah sumber yang sangat layak untuk dipercaya, akan dikaitkan dengan pelanggaran pemberian izin untuk PT Kalista Alam yang dikeluarkan Gubernur Aceh. “Mereka ingin menembakkan pasal-pasal kejahatan lingkungan dengan bukti awal izin yang dikeluarkan Irwandi. Kalau ini dibuatkan berita acaranya tak ada cara untuk berkilah dari mantan gubernur itu untuk mengelak dari pasal-pasal pidana hukum lingkungan itu,” bisik seorang yang rajin menemani tim forensik IPB itu.
Irwandi Yusuf bisa dipidana karena dianggap telah mengangkangi moratorium dengan mengeluarkan izin alihfungsi lahan kepada PT Kalista Alam seluas 1.605 hektar.
Walhi Aceh sendiri, pernah mengajukan gugatan terhadap izin alih fungsi lahan yang dikeluarkan gubernur dan memohon pembatalan dengan alasan melanggar kesepakatan moratorium yang ditetapkan dalam keputusan presiden ke Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh. Pengadilan Tata Usaha Negara dalam amar putusannya, 3 April 2012, menolak gugatan Walhi karena dianggap tidak ada unsur administrasi negara yang dilanggar dalam izin tersebut.
Menurut sebuah sumber yang rajin menelaah lingkup hukum administrasi negara, gugatan Walhi ketika itu sangat lemah. Mereka tidak dapat menunjukkan adanya pelanggaran mendasar karena izin gubernur hanya untuk melengkapi mendapat hak guna usaha. Sebuah sumber lain juga mengungkapkan, upaya penyelesaian kasus izin gubernur untuk PT Kalista Alam akan menguap karena indikasi lapangan menegaskan, proses hukum di Rawa Gambut Tripa akan difokuskan pada pembakaran lahan.
Walhi Aceh tak tinggal diam, mereka mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan. Pada 30 Agustus 2012, PTTUN Medan mengeluarkan putusannya mengabulkan banding Walhi Aceh. Amar putusan tersebut bernomor 89/B/2012/PT.TUN-MDN, Bunyinya antara lain; mengabulkan gugatan penggugat (WALHI Aceh) dan memerintahkan kepada tergugat (Gubernur Aceh), untuk mencabut keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan yang dikeluarkan oleh Gubernur Aceh, tanggal 25 Agustus 2011, No. 525/BP2T/5322/2011, tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT. Kalista Alam.
Pemerintah Aceh berrjanji akan menjalankan putusan tersebut. Setelah sengkarut di gambut tripa yang teramat panjang, masyarakat sekitar menunggu sambil mencoba membangkitkan kembali ingatan pada kisah rawa yang menjadi kebanggaan anak asoe lhok sepanjang aliran Krueng Tripa. []