Jembatan Lamnyong, di sebuah pagi yang basah. Renyai hujan pirang tak mampu mengurai belenggu macet di hari pertama kuliah awal Desember itu. Pilinan kendaraan untuk saling berebut ruang melilit bak benang kusut di tiga silangan arus, Teuku Nyak Arif, Lamreung dan Lamnyong. Simpul macet yang centang prenang dan menghamburkan sumpah serapah dari stagnannya perjalanan, persis di kepala jembatan, di depan sebuah restoran.
Darussalam, tujuan arus yang berpilin itu, sepertinya, mengiyakan apa yang dicelotehkan pengamat pendidikan tentang makin ”jauh”nya jarak “out put” keterpelajarannya dengan realitas janji “pelaksanaan cita-cita.” Sebuah kumandang retorika yang di awal gagasan untuk membangun “gampong” kebun kepala itu masih disemangati “idealisme” membaurkan hasil; dari keterpelajaran dengan mimpi kemakmuran.
Kini, sepertinya, Darussalam, tempat dua perguruan tinggi negeri di tanah persada itu, semakin pas memosisikan dirinya sebagai institusi yang ber”jarak” dengan harapan cita-cita. Jarak, ketika keilmuan hanya dikejar sebagai partitur untuk sebuah prestise dan bukan prestasi atas nama pengabdian.
Sepagi ini, seperti dikatakan seorang kawan seperjalanan kami di kekusutan arus itu, “Darussalam memang telah jauh.” Dan sepagi itu pula kami tak ingin mendiskusikan “menjauh”nya tanah terpelajar itu.
Kami hanya sepakat membunuh prasangka buruk itu dengan menyanyikan sepotong bait dari syair “Mars Darussalam.” Mars dengan syair pembuka, “di persada tanah iskandarmuda….. dibina kota pelajar megah..” yang menghentakkan nada ¾ dan mereflekkan anggukan kepala, hentakan kaki, serta ketukan jemari ke kemudi mobil sembari memulangkan ingatan kami kemasa empat puluh empat tahun lalu, ketika masih dengan semangat mengayuh sepeda di jalanan sempit bertanah gembur di tengah kebun kelapa, tanpa harus mengulur waktu kepastian sampai di kampung “tekad bulat” itu.
“Asyik,” ujar sang teman, yang dulunya di ujung tahun 60-an sama-sama menjadi “anak persada,” berdesah ketika suara “fals” kami menghasilkan “koor” berintonasi complang tanpa kontrol nada rendah dan tinggi, sehingga menghasilkan bunyi yang garau ketika harus menukik ke tangga nada di bait syair yang berbunyi,” mari putra… mari putri… membangun kota mahasiswa…”
Ya, Darussalam ketika kami hampiri di pagi itu untuk sebuah “panel” sudah menjadi kota mahasiswa. “Kota” tanpa harus di “koor”kan lagi dalam ajakan sepotong syair “membangun.” Kota yang kini telah menjadi entitas “gengsi” anak negeri untuk menjadi “terpelajar.” Kota yang telah menghasilkan banyak intelektual dan menyebarkan virus berdurasi teks keilmuan ke banyak komunitas tanpa pernah membawa pesan kesejarahan untuk apa ia di”bangun”.
Darussalam, di hari-hari awal Desember, ketika kami menapaktilasinyai, dan “tergoda” untuk menulis kisi-kisinya, setelah menemukan banyak orang “berkejaran” mencari status sosial kelimuan lewat predikat kesarjanaan. Tergoda ketika menyaksikan hutan bangunan tumbuh subur di lahan seluas 100 hektar lebih itu dan menjadikannya “perkasa.” Gedung rektorat, aula Dayan Daud, fakultas-fakultas yang dikelilingi kerimbunan program diploma, sepertinya membisu dalam gumam dan kehilangan “roh” semangat “membangun.”
Semangat ketika Ali Hasymi, tokoh dengan seabrek “talenta,” menggelontorkan ide besarnya untuk disepakati, bagaimana mencerdaskan anak negeri. Ide besar, waktu itu, di ujung tahun 1950-an, untuk membangun “kota pelajar dan mahasiswa” dengan menghadirkan sebuah perguruan tinggi. Kota dengan satu impian, menerbang cita-cita ke langit awan dan menjadikan “gampong” tanah kebun kelapa itu sebagai komplek pendidikan nomor satu di tanah persada dengan nama kota pelajar dan mahasiswa (Kopelma).
Mimpi Hasymi yang lahir dikegaduhan perang itu melewati pelintasan “pahit” atas nama kondisi “darurat keamanan ” untuk kemudian, dengan susah payah, terwujud bersama gonjang ganjing politik, keamanan dan kekisruhan sosial Aceh. Sebuah pelintasan yang tak seluruhnya bisa ditahbiskan seperti “mimpi” indah. Mimpi awal ketika ia melintas berbau “apak” oleh uap “mesiu.” Perjalanan yang bagaikan “roller coaste.” Pelintasan naik turun yang mengidentikkannya dengan potret buram negeri “iskandarmuda” ini.
Potret “politik” dan keamanan di negeri “S.O.B,” yang dalam perjalanannya tak selamanya diamini komunitasnya sebagai misi netralitas keilmuan. Misi yang sejak awal telah menyatukan kepahaman sebagai lembaga yang bebas “hambatan.” Lembaga, yang ternyata, diganggu secara pressure peran akademiknya untuk menampung realitas politik dan sosial di tanah persada.
Darussalam, oleh banyak entitas, disatukan sebutannya sebagai untuk sebuah identifikasi dalam menyebut Universitas Syiahkuala (Unsyiah). Identifikasi yang tidak seluruhnya benar mau pun salah. Identifikasi yang dilahirkan oleh “inklusitas” eksistensi kesejarahan perguruan tinggi itu dengan “gampong blang” berpohon kelapa di awal ia di bangun. Inklusitas yan sama untuk menyebut faklutas ekonomi dalam satu tarikan nafas dengan Unsyiah.
Lahir dari “rimba” perang yang gaduh, Darussalam, untuk kemudian kita sebut Unsyiah, merangkak menebar asa di penutup tahun 1950-an yang ditandai oleh kedatangan Bung Karno di sebuah petak lapangan gosong, yang hari-hari sebelum 2 September 1959 itu, sudah di”bersih”kan dari dentuman “bom,” meriam dan desingan peluru, untuk menggoreskan sebait kalimat yang dimulai dengan dua kata pembuka,”tekad bulat,” dan berujung dengan kata-kata, “pelaksanaan cita-cita.”
Awal dan ujung bait kalimat itu kini sudah sampai pada “tujuan”nya. Tekad “membangun” sebuah kampus “megah” dan menebar keilmuan lewat pelaksanaan cita-cita.
Ibrahim Naim, seorang teknorat otodidak, ketika di suatu hari terlibat diskusi dengan kami di sebuah ruang kantor surat kabar yang kumuh, dan kini tumbuh menjadi media paling berpengaruh di Aceh, berurai air mata mengenang peran Unsyiah terhadap penataan pembangunan negeri ini usai anak persadanya menyandang predikat keilmuan dan berbondong-bondong membaktikan dirinya untuk merealisasikan “pelaksanaan cita-cita.”
Naim, anak Lamlhom. yang memulai karir sebagai jurubuku di sebuah perusahaan milik seorang entrepreuner Aceh, mengungkapkan sebuah perdebatan keras di sebuah rumah tinggal di Medan di awal tahun 1959 ,ketika di ujung diskusi “gang” saudagar Aceh memaksa Ali Hasymi untuk membuka fakultas ekonomi dan tahun itu juga dimulai pendaftarannya serta afiliasikan ke Universitas Sumatera Utara.
Hasymi tak berkutik, dan mengiyakan. Padahal, waktu itu, belum ada secuil pun embrio untuk mendukung pendirian sebuah perguruan tinggi. Panitia pendirian kota pelajar dan perguruan tinggi, ketika itu, hanya punya yayasan yang belum disahkan dan komisi-komisi yang juga belum menuntaskan draft rencana.
Ibrahim, yang sudah berpulang, menyentak ketika ia menjelaskan kenapa harus fakultas ekonomi sebagai pioner. “Aceh kala itu sudah pepesan kosong. Dibutuhkan ekonom untuk menatanya, Dan para saudagar Aceh yang tergabung dalam Gasida punya duit setelah berkibar di zaman perdagangan barter. Mereka tahu landasan apa yang diperlukan membangun negeri ini. Dan mereka benar,” ujar Naim dengan suara seraknya, terbahak.
Darussalam memang dibangun dari landasan “ekonomi” ketika anak-anak negeri ini merangsek mendapatkan status mahasiswa. Disana ada Ali Basyah Amin, TA Hamid, Nurdin Ar, Syamsunan Mahmud dan lainnya yang kemudian, usai menyelesaikan pendidikannya, menjadi bagian dari “kebangkitan” pembangunan Aceh ketika “prang” sudah berakhir dan negeri ini menebus ketertinggalannya.
***
Darussalam, di sepagi itu, adalah sebuah kampus yang tak sepenuhnya “adem.” Lintasan utama yang membelah “kota” pelajar itu dari gerbang masuk arah Lamnyong terbuka sebagai jalan umum yang tersambung dengan perkampungan penduduk di ujung timur kampus sehingga ia tidak bisa steril dari ke“sumpek”an.
Penataan master plan ini, seperti dikatakan seorang bekas dekan fakultas teknik kepada kami,”memang sudah terlanjur dan menempatkan posisi kampus dalam dilematis yang tidak akan pernah terselesaikan.” Ia mengatakan, “keterbukaan” ini tidak menguntungkan karena bauran arus secara “psikolgis” mengganggu kegiatan “civitas academica.” Tapi mau apa lagi.
Memang ada upaya untuk memindahkan trase ini dengan “memagar” komplek kampus dan membangun jalan lingkar di sisi utara dan selatan, tapi tidak termanfaatkan karena juah dan ribet. Menutup pintu? “Bisaa mencelakakan,” bisiknya. Tidak produktif.
Keterbukaan ini memang petaka, ketika “amok” keamanan menerjang Aceh di dekade lalu dan “korban” pun berjatuhan di Unsyiah dan IAIN, dua perguruan tinggi negeri yang berdomisili di sana. Korban, yang juga datang adalah menyurut peran Unsyiah, dari strata keilmuan bersamaan menyurutnya “safety” yang berdampak memlorotnya eksistensi universitas menjadi klas “medium.”
Peran universitas ini memang mengalami pasang surut dari imbas keamanan, politik dan tarik menarik kepentingan yang berkelindan pada pengelompokan pengajar dalam persaingan jabatan. Pertempuran mendapatkan posisi dengan gerbong-gerbong kepentingan dengan menomorduakan peningkatan mutu akademik makin mempertegas status universitas ini ke dalam kelompok perguruan tinggi “Kelas C” di negeri ini.
Memang ada parodi-parodi yang bernilai tinggi. “Tapi secara umum perguruan tinggi ini telah terdegradasi,” kata seorang gurubesar aktif kepada kami. Dulu kita masuk katagori B mendekati kesetaraan dengan Brawijaya, Udayana, Andalas dan lainnya. Bahkan di sebuah masa kita mengekor USU, Undip dan lainnya. “Kini, ya inilah katagori kita,”katanya dengan pasrah.
Faktor lain yang menyebabkan Unsyiah “menjauh” dari mutu pengajaran adalah semakin tambunnya institusi ini oleh kehadiran fakultas dan program diploma baru. Dengan sepuluh fakultas program sarjana dan diploma serta jumlah mahasiswa mencapai 29.139, yang setiap tahunnya menambah mahasiswa hingga 6.300 orang, seperti tahun akademik 2012-2013 lalu, untuk semua starata pendidikan, sulit bagi pengelola fokus pada pengembangan akademik. Para pengelola lebih asyik menambah kelembagaan yang arahnya tak selamanya fokus dengan pengembangan keilmuan.
Tidak hanya menambah kelembagaan, mengelola dana beasiswa dan mendistribusikannya secara berkeadilan saja telah mengantarkan pengelola berurusan dengan hukum. Kasus dana beasiswa Pemda dan peminjaman duit tanpa “sisdur” merupakan gejala paling riil bagaimana berlumurnya lingkungan rektorat bermain dengan uang.
Apalagi godaan untuk bermain dalam arus besar politik para petinggi rektorat dan kerja sampingan sebagai pengurus bank dan institusi lainnya menyebabkan terjadinya pengabaian pertumbuhan kualitas akademik. Kasus Darni M Daud yang mencalonkan diri sebagai gubernur pada pilkada lalu telah menyeret ekisistensi Unsyiah lebih ke dasar karena banyak “kroni”nya di “civita academica” ikut menjadi tim sukses.
Usai pilkada dan gagal meraih kursi gubernur, Darni menyeret Unsyiah ke pertengkaran jabatan rektor yang ditinggalkannya. Sehingga pengelola lebih banyak bicara kemungkinan-kemungkinan dari pada memikirkan kualitas pengajaran dan penelitian ilmiah.
Belum lagi, kalau diungkapkan, “ambisi” setiap fakultas yang secara “membabi-buta” membuka program pasca sarjana tanpa konsep yang matang sehingga dari penerimaan hingga kelulusannya tidak mencerminkan mutu predikat ke”pasca”an dengan gelar “master” yang disandang.
Paling tidak ada lima fakultas yang membuka program pasca sarjana, ekonomi, hukum, teknik, fkip dan pertanian serta satu lainnya program spesialisasi kedokteran, yang sering menjadi “joke” di lingkungan terbatas sebagai “master meulaboh” atau “master sedikit isi.”
Tanpa mengecilkan peran Unsyiah, secara visi dan misi, sebagai lembaga pencerdasan dibutuhkan kepemimpinan yang kuat untuk mengembalikan perguruan tinggi ini sebagai “loko” pembangunan Aceh. Kontribusi kualitas pengajaran seperti zaman afiliasi dan dekade penelitian berstandar terbaik secara nasional dengan LPIS-nya yang mendatang ilmuan seperti DR Alfian dan William “Bill” Lidle masih kita rindukan. []